Invasi Privasi: Bahaya Teknologi Pengenalan Wajah

Sebastian Duto
5 min readAug 7, 2020

--

Reuters, Cina. 2019
Cina 2019, Reuters

Teknologi pengenalan wajah (facial recognition) marak dikembangan oleh berbagai perusahaan berbasis teknologi di seluruh dunia. Teknologi ini membantu pengguna teknologi untuk memudahkan pengguna mengenal dan membedakan wajah manusia. Pengenalan wajah ini dilakukan oleh mesin komputer self-learning yang mampu membedakan fitur-fitur wajah manusia dapat memberikan hasil output dengan instan. Perusahaan seperti Google dan Amazon sudah bekerjasama dengan pemerintah AS untuk mendapatkan database wajah dari jutaan warganya.

Namun, di balik kemajuan yang semakin canggih terdapat dampak negatif dalam penerapan teknologi pengenalan wajah ini. Teknologi yang bisa dibilang baru ini, yang populer dalam hitungan beberapa tahun ke belakangan sudah menjadi ancaman bagi warga negara. Rusia telah membuat website yang dapat diakses semua orang di penjuru dunia untuk melakukan pengenalan wajah didasarkan oleh satu foto manapun, dan akan menampilkan hasil foto orang tersebut yang telah di-share pada berbagai jaringan media sosial. Pemerintah Cina sudah memasang CCTV yang dilengkapi teknologi pengenalan wajah pada seluruh penjuru kota untuk memonitor segala pergerakan warganya, serta mengantisipasi adanya aktivitas kriminal. Apakah semua hal ini berdampak bagi kehidupan sehari-hari dalam lingkungan bermasyarakat?

Semakin majunya teknologi pengenalan wajah dalam berbagai hal memudahkan penggunanya untuk mengakses data, serta menghemat waktu. Hal yang paling umum yang kita lakukan dengan penggunaan teknologi pengenalan wajah adalah untuk membuka kunci smartphone kita tanpa menggunakan kode. Untuk para millenials sudah pasti tidak asing lagi dengan Instagram Filter, yang menggunakan fitur wajah penggunanya untuk memodifikasi foto-foto yang diambil dengan menggunakan efek yang unik dan lucu. Bahkan sudah sejak awal dari kemunculan Facebook, kita sudah menggunakan fitur Tag saat meng-update foto-foto kita ke Facebook. Segala data dan fitur-fitur wajah yang kita unggah ke server social media tersebut sudah menjadi kepemilikan mereka. Pengguna rela memberikan privasinya demi tetap terhubung bersama saudara, keluarga, dan teman-temannya. Terhitung pada 2019, ada 3,5 miliar pengguna social media, dan tidak bisa dipungkiri bahwa semua fitur-fitur wajah pengguna mungkin sudah berada di tangan perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini sangat berbahaya bagi pengguna yang tidak sadar akan terjadinya hal ini, dengan menyebar hal-hal penting di sosial media mereka.

Di Cina, penggunaan teknologi pengenalan wajah bisa ditemukan di manapun. Tujuan utama pemerintah mendorong kemajuan teknologi ini adalah untuk masalah keamanan. Melalui terhubungnya segala penjuru kota dengan berbagai pengawasan CCTV, pemerintah dapat menarik video dan menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk mengenal sebuah suspek kriminal. Penggunaan teknologi yang eksesif ini dibantu oleh sistem pemerintahan Cina yang bersifat otoriter, sehingga aparat berlaku seperti tuhannya dari para warga yang selalu mengawasi. Bahkan pada toilet-toilet di Cina disertakan pengenalan wajah sebelum diberikan tisu untuk mencegah pengambilan tisu yang berlebihan. Pembayaran pada toko-tokopun sudah menggunakan teknologi pengenalan wajah dan tidak memerlukan pertukaran uang, ataupun menggunakan smartphone. Namun, dari segala kemajuan teknologi pengenalan wajah yang berdampak positif ini, terdapat pula bahayanya.

Pasar face recognition semakin bertumbuh dengan semakin majunya teknologi. Anak perusahaan Amazon, Ring, sudah memulai kerjasama dengan puluhan Police Departments di AS. Pemerintah AS sudah mulai menggunakan pendeteksi wajah terhadap masyarakat sipil pada demonstrasi awal Juni 2020 kemarin, atas pembunuhan George Floyd oleh Minnesota PD. Ribuan video yang dishare melalui berbagai social media menunjukan wajah pengunjuk rasa melakukan demonstrasi yang kadang terpecah dalam kekerasan, sehingga terjadinya pertikaian dengan pihak aparat. Dengan adanya video ini, polisi AS dapat mendeteksi wajah-wajah yang ada dan melakukan penangkapan dengan basis yang tidak sesuai dan sewenang-wenang. Puluhan masyarakat sipil yang terlibat dalam demonstrasi di kota Baltimore menghadapi hal ini. Penyalahgunaan teknologi pengenalan wajah dari pihak aparat merupakan salah satu bahaya terbesar dari implementasi teknologi ini.

Privasi masyarakat sudah tergangggu saat pemerintah memonitor segala pergerakan warganya. Terjadi di Cina, sebutan Hyper-Surveillance tepat untuk menggambarkan situasi ini. Hyper-Surveillance berarti pengawasan dalam skala massif. Pemantauan waktu nyata dapat dilakukan, mendeteksi semua warga yang melewati sebuah jalan yang diawasi. Terhitung pada 2018, sudah ada 200 juta kamera pengawas, atau CCTV yang dipasang di seluruh penjuru negara Cina. Alih-alih sebagai proteksi warga, pengawasan yang sungguh berlebihan ini menjadi sebuah invasi privasi warga. Kebebasan pribadi sudah bukan lagi hak warga Cina, dengan segala pengawasan kegiatan warga ini.

“Masalah yang muncul dari facial recognition adalah transparansi,” kata Alvaro Bedoya, Direktur Eksekutif Pusat Privasi & Teknologi, LSM San Francisco. Pada 2019, legislator San Francisco berhasil mengambil keputusan untukmelarang penggunaan deteksi wajah. Mereka menyatakan sikap bahwa teknologi pengenalan wajah ini tidak sesuai dengan asas demokrasi yang sehat. Pelarangan ini tidak berlaku di bandara atau pelabuhan laut, karena sudah menjadi otoritas pemerintah. Perubahan dalam regulasi ini didorong oleh kesadaran legislator dan warganya atas bahaya yang akan muncul dengan kemajuan teknologi pengenalan wajah. Mereka sadar bahwa resiko dari teknologi ini akan sangat berdampak jika terjadi penyalahgunaan. Belajar dari negara lain yang sudah mengalami lebih jauh akan teknologi ini memunculkan kesadaran kita juga dalam mencari solusi terbaik dari bahaya teknologi pengenalan wajah. Pendorongan regulasi ini juga penting dilakukan agar terjadi implementasi yang nyata untuk mencegah penyelewengan teknologi pengenalan wajah.

Dengan demikian, perlu diperhatikan bahwa bangkitnya kekuatan teknologi ini bagaikan pisau bermata dua, memiliki manfaat yang besar, juga memiliki risiko yang besar. Walaupun di Indonesia belum ada penggunaan teknologi pengenalan wajah untuk membantu aparat, kita perlu belajar dari negara lain mengenai dampaknya. Kita juga perlu berhati-hati dalam menggunakan berbagai teknologi yang berhubungan dengan pendeteksian wajah. Dimulai dari kesadaran kita masing-masing bahwa perusahaan sosial media memiliki hak akan foto-foto yang kita share pada platformnya. Sebagai pengguna internet yang bijak, kita perlu waspada dan skeptis terhadap apapun itu tren dan perkembangan pada dunia online.

Referensi Esai

Heilweil, R. 2020. How can we ban facial recognition when it’s already everywhere?. [online] Vox Media. Diakses di: < https://www.vox.com/recode/2020/7/3/21307873/facial-recognition-ban-law-enforcement-apple-google-facebook> [Diakses pada 21 Juli 2020]

Irfani, F. 2019. Teknologi Face Recognition di Antara Kebaikan dan Keburukan. [online]. Tirto.id. Diakses di: < https://tirto.id/teknologi-face-recognition-di-antara-kebaikan-dan-keburukan-dKTK> [Diakses pada 21 Juli 2020]

Fong, J. 2019. What Facial Recognition Steals From Us. [online]. Vox Media. Diakses di: <https://www.vox.com/recode/2019/12/10/21003466/facial-recognition-anonymity-explained-video> [Diakses pada 21 Juli 2020]

Dudley, L. 2020. China’s Ubiquitous Facial Recognition Tech Sparks Privacy Backlash. [online]. The Diplomat. Diakses di: <https://thediplomat.com/2020/03/chinas-ubiquitous-facial-recognition-tech-sparks-privacy-backlash/> [Diakses pada 21 Juli 2020]

Artikel untuk Tugas Esai Individual, MKU Wajib Bahasa Indonesia

--

--